Sunday, May 22, 2016

vina's junkthoughts 4: Raja Sirkus dan Seniwati Dongeng, Pertemuan Pertama: Imajinasi Tanpa Batas, dan Teori Relativitas

habis sudah fantasi liarku tentangmu, 
kau tepis dengan jatuhnya harga diri dan rasa malu malam itu, 
manifestasi dari prinsip yang selalu kau dengung-dengungkan ditelingaku, 
cover buku yang tebal, usang, tergores disana-sini serta berdebu, 
namun isinya menggemakan manisnya kebijaksanaanmu, 
memang sepertinya happy ending nan membosankan cocok menyiksa wanita 
yang terbiasa dengan kejamnya dunia, 
atau yang biasa menonton film thriller dan horror sambil tertawa. 
Seperti kata mereka, 
tampan, penyayang, badut yang selalu gembira, 
preman berhati merah muda, 
siksa aku dengan kekuatan memanjakanmu, 
buat aku bahagia selamanya. 
- Raja Sirkus dan Seniwati Dongeng -


Pertemuan Pertama: Imajinasi Tanpa Batas, dan Teori Relativitas


     Enne tidak pernah menyangka akan tertarik dengan lelaki yang sangat jauh berbeda darinya. Ibarat memakai sendal jepit yang sama ukuran tapi beda warna. Lelaki itu seperti mengisi bolong yang ada padanya, lalu Enne merasa sempurna.
     
      Pertemuan mereka bermulai pada acara kencan buta masal yang baru pertama kali diadakan dikota Enne bekerja terakhir kali. Enne merasa acara tersebut konyol sekaligus menarik dan akhirnya ia mendatanginya. Buat lucu-lucuan, pikir Enne. Seperti biasa, Enne datang seorang diri lalu tertarik dengan sekumpulan lelaki yang sedang bergerombol. Selain suara mereka bising sekali, Enne tertarik dengan salah satu diantaranya yang sedang tertawa lebar nan sumringah. Bukan karena tawanya, suaranya, tapi karena tingginya. Ya, dia yang paling tinggi diantara semuanya. Enne selalu percaya, lelaki tinggi memiliki pemikiran cemerlang dan ia cenderung merendah karena tingginya. Kebalikan dengan lelaki pendek yang selalu ingin terlihat tinggi.

     Enne sudah sering berkencan dan menjalin hubungan, jadi teori ini sudah sering ia praktekkan dan hasilnya memang memuaskan. Enne mendapat teori ini dari kakeknya yang mantan penerbang angkatan bersenjata negara, dan juga instruktur psikolog perwira.

Tingginya, pikir Enne, lalu sudah, begitu saja. Sisanya tidak ada yang menarik, pikir Enne. Semua orang baik wanita maupun pria akan menoleh kepada lelaki itu, ya hanya karena tingginya. Atau mungkin juga bahunya yang lebar, pikir Enne. Dahi Enne agak mengerut, apakah lelaki tinggi ini juga seorang prajurit. Karena Enne tidak menemukan tulang punggung yang membengkok. Lelaki itu berdiri tegap dengan tingginya. Tidak sedikitpun Enne menemukan tanda-tanda lelaki tersebut sedikit membungkuk atau minder akibat tingginya. Tidak, lelaki ini menerima postur dan memanfaatkan tinggi tubuhnya dengan sebaik-baiknya. Seorang lelaki yang bangga dengan apa yang dia punya, pikir Enne.

     Lalu Enne mulai tertarik untuk menganalisa postur lelaki tersebut lebih jauh. Ilmu seni proporsinya tidak dapat ia acuhkan begitu saja. Enne merasa harus menganalisa proporsi tubuh lelaki itu, dan ia juga memperhatikan gerak - gerik lelaki itu. Bagaimana ia mengayunkan tangan diatas pinggang, atau bagaimana kakinya yang jenjang tengah melangkah. Enne menemukan hal itu sangat luar biasa. Enne tidak pernah menemukan proporsi tubuh yang begitu sempurna. Enne teringat model gerakan manusia yang ia rancang pada komputernya. Pada saat itu, Enne hanya merancang dimensinya, sementara gerakan tergantung dari pasien yang dilekatkan alat sensor gerakan, sementara gerakan yang dihasilkan dan terlihat dilayar komputer adalah program yang telah lebih dulu dikembangkan. Enne tinggal memakainya begitu saja dan menyempurnakan dimensinya sebelum dijual ke produsen alat pemeriksa kesehatan jantung pasien.

     Enne merasa harus menganalisa lelaki tersebut lebih jauh dan ia mulai memperhatikan bahunya yang lebar. Semakin sempurna, pikir Enne. Enne lagi-lagi teringat bagaimana kakeknya selalu mendengung-dengungkan lelaki berbahu lebar, memiliki pemikiran yang luas, ngemong, dan dapat diandalkan. Selain bahu sang kakek juga lebar, ilmu psikologinya membuktikan hal yang sama. Kakek Enne lah yang mengasuhnya setelah orang tuanya bercerai, lalu berkali-kali ayah Enne menikah dengan wanita yang salah. Atau ibu yang hanya ditemui Enne sekali setelah terpisah selama 29 tahun. Hidup Enne yang terlalu tidak realistis mendorongnya untuk tenggelam dalam studi nya. Hingga ia menjadi doktor perancang alat kesehatan. Kemampuan teknik dan cintanya pada seni menjadikannya mudah menyelesaikan sarjana elektro, master desain, lalu ia mendapat beasiswa desain khusus alat perancang kesehatan. Eng, Dpl yang selalu diidam-idamkannya.

     Mata Enne terbiasa melihat perhitungan matematika dan seni proporsi untuk membuat desain alatnya menjadi indah, fungsional, sekaligus efektif digunakan. Lalu kebiasaannya inilah yang akhirnya memberikan kesimpulan bahwa lelaki tersebut memiliki postur tubuh yang sempurna. Lalu tanpa sadar Enne membuka sedikit mulutnya karena tenggelam dalam pikirannya yang hanya beberapa detik. Seperti teori relativitas, Enne seperti merasa dirinya sedang bekerja, lalu duduk diatas kompor menyala yang membuatnya seperti tersiksa berjam-jam lamanya padahal ia hanya berpikir beberapa detik. Keahliannya yang sudah melebihi manusia-manusia lainnya dalam menganalisa, menyiksanya dalam teori relativitas ini. Yang Enne perlukan adalah jatuh cinta supaya siksaan teori relativitas kompor panas itu dapat ia balikkan. Tapi untuk sementara, belum ia temukan manusia yang dapat membuatnya jatuh cinta. Mungkin nanti, setelah acara berjalan, diantara para cecunguk ini, setidaknya ia tidak akan pulang sendirian.


#Entry 2: Mencari Pria Cerewet

     Mulut Enne yang sedikit terbuka, serta pandangannya yang hanya tertuju pada lelaki tersebut, membuat sang lelaki menyadari ada sepasang mata yang sedang mengamatinya. Lalu ia menoleh ke arah Enne dan mereka bertemu pandang. Enne menjadi membelalak karena tidak tahu harus berbuat apa pandangannya tertangkap oleh sasarannya. Tak terduga oleh Enne, lelaki itu tersenyum lembut. Lalu Enne menemukan hal menakjubkan lainnya, manis, pikir Enne. Enne terlihat salah tingkah, menelan ludah, menarik ujung bibirnya, dan terlihat seperti senyum terpaksa, lalu mengalihkan pandangannya. Silly me, pikir Enne. Belum juga semeja dengan kencan butanya sudah ketauan tertarik pada seseorang. Bergerombol pula. Yang Enne pikirkan adalah gerombolan itu pasti akan mudah mencirikannya setelah ia tertangkap mengamati salah satu dari mereka. Enne mengambil nomor kemudian duduk dimeja yang telah ditentukan, mejanya telah diisi oleh seorang pria setengah botak berkacamata.

     Ia terlihat ramah, namun jelas bukan pria yang akan Enne bawa pulang. Enne merasa melanggar etika kerjanya jika membawa pulang pria yang hampir sama perawakannya dengan yang ia temui ditempat kerja sehari-hari. No, cukup ditempat kerja, tidak untuk pergi keluar bersama. Mengejutkan namanya Edward, lalu Enne teringat Edward Cullen tokoh didalam buku Twilight. Hahaha, Ok, jauh. Lalu Enne mengenalkan diri, " Adrienne, panggil Enne saja", lalu pria itu melanjutkan mungkin mereka jodoh karena nama mereka memiliki inisial yang sama. Enne tidak banyak bicara dan membiarkan sang pria berbicara banyak, namun tetap sopan menjawab pertanyaan. Ia juga akhirnya tahu bahwa sang pria adalah keturunan Tionghoa asli yang memiliki mata besar. Hal itu tentunya menjelaskan namanya yang kebarat-baratan. Enne hanya berharap 5 menit dengan pria tersebut dapat berlalu tanpa ia harus memberikan nomor telpon atau pin BB nya. Dan yak, 5 menit berlalu Enne langsung pindah ke meja berikutnya.

     Edward setengah berteriak dari mejanya menanyakan nomor telpon Enne. Enne hanya tersenyum melihatnya, lalu salah satu pembawa acara menegur Edward, " Maaf pak, waktu anda habis, silahkan berbicara dengan wanita yang ada dimeja anda saja.". Enne merasa dibela oleh sang pembawa acara, lalu tersenyum mengisyaratkan terima kasih. Sang pembawa acara tersenyum lebih lebar dengan leganya. Ia merasa sudah memberikan yang terbaik untuk klien wanitanya, sebuah perlindungan konsumen. Pria yang kali ini ada dihadapan Enne mirip selebriti Hollywood, pikirnya. Enne teringat Jeff Goldblum. Tinggi kurus berkulit gelap, juga memakai kacamata. Enne dapat menerka bahwa ia keturunan India. Ini juga salah satu kegemaran Enne mengikuti acara seperti ini, ia dapat mengasah memori otaknya agar peka terhadap bentukan wajah dan nama-nama. Ia tahu hal tersebut mencegahnya dari terserang Alzheimer, ditambah konsumsi pisang minimal sehari 2 kali tentunya.


     Enne mengetahui namanya Sanjaya, sesuai dengan perkiraan Enne bahwa pria tersebut memang keturunan India. Mereka tidak banyak berbicara hanya banyak tersenyum dan minum. Senyumnya memang manis, tetapi tidak untuk dibawa pulang. Pak Sanjaya, begitu Enne memanggilnya, terlalu pendiam dan tidak cocok untuk Enne yang juga pendiam, pikir Enne. Enne butuh lelaki yang cerewet, super cerewet dan membuatnya terus sibuk hingga tidak mampu berpikir apa-apa karena harus mendengarkan si pria cerewet. Namun dimanakah sang pria cerewet, Enne masih mereka-reka hingga berapa lama lagi ia harus berganti meja untuk mendapatkan pria cerewet yang bisa dia kencani.

next ---> Entry#3: Sang Pria Penggoda.



No comments: